PENYEBAB DAN SOLUSINYA
Mereka menghadapi lingkungan yang penuh kekerasan seperti keluarga yang dalam mendidik anak menggunakan kekerasan. Di sekolah menghadapi kurikulum yang padat, PR bertumpuk, guru yang menggunakan kekerasan. Semua itu menumpuk agresifitas dalam diri mereka,\\\" ujar Kak Seto, begitu panggilan akrabnya, kepada QB Headlines.
Ada paradigma salah dalam mendidik anak, baik pada keluarga atau sekolah. Kak Seto menyebutkan, banyak orang yang beranggapan bahwa dengan melakukan tindakan keras seperti menjewer, memukul, mencubit, bisa menekankan disiplin pada diri anak. Padahal sama sekali tidak. Justru perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam diri anak tersebut, dan dianggap biasa. Alhasil, kepada temannya pun dia melakukan kekerasan serupa, atau lebih.
Bukan hanya keluarga saja, media seperti TV juga punya peran dalam membentuk kebiasaan melakukan kekerasan. "Tayangan berita berisi kekerasan seperti demonstrasi mahasiswa, demonstrasi Pilkada, film, sinetron, direkam sangat baik oleh remaja dan anak-anak. Mereka akan menganggap bahwa itu semua wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa," kata Kak Seto.
Apakah stres yang disebabkan krisis ekonomi merupakan pembenaran bagi orang tua melakukan kekerasan pada anaknya? \\\"Tidak juga. Krisis ekonomi hanya salah satu faktor. Tapi tidak bisa dikatakan pembenaran. Sebab banyak juga selebriti atau kalangan ekonomi mampu yang juga melakukan tindak kekerasan pada anak," bantahnya.
Terbawa Sampai Dewasa
Jika tidak segera dicarikan solusinya, maka kebiasaan melakukan tindak kekerasan itu bisa terbawa hingga dewasa. Bukan tidak mungkin kelak mereka yang terbiasa dengan tindakan kekerasan sejak kecil dan remaja ini akan terus melakukan kekerasan sampai mereka menjadi orang tua dan menurunkan kepada anak-anaknya. Bisa dibayangkan generasi macam apa yang akan terbentuk di masa mendatang.
Berikut solusi untuk menekan tindak kekerasan pada anak-anak dan remaja:
• Mengubah paradigma dalam keluarga, bahwa kekerasan adalah salah satu bentuk pendidikan disiplin pada anak.
• Pemerintah harus tegas pada media, sensor pada adegan kekerasan di TV dan media lain. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih tajam.
• Langkah kongkret mencegah kekerasan dengan sosialisasi berupa kampanye, pidato dan talkshow bahwa tindakan kekerasan pada anak-anak harus dihentikan.
Kak Seto menyayangkan sekali pepatah yang berbunyi "di ujung rotan ada emas" yang membenarkan tindakan keras secara fisik pada anak-anak oleh orang tua dan guru.
"Jadi sebaiknya semua dimulai dari keluarga. Besarkan dan didiklah anak dengan kasih sayang, bukan kekerasan," pesannya